AKU



Cari Blog Ini

Senin, 30 Juli 2012

PENERAPAN WELFARE THEORY DAN BENEFIT COST ANALYSIS DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan diterapkan, seperti dalam analisis biaya-manfaat, yang sering digunakan adalah nilai uang perkiraan, terutama karena  pendapatan merupakan distribusi efek faktor dalam analisis. Tidak ada persyaratan dari ukuran kuantitatif yang unik dari perbaikan kesejahteraan tersirat ini. Aspek lain dari kesejahteraan memperlakukan pendapatan/barang distribusi, termasuk kesetaraan, sebagai dimensi lebih lanjut dari kesejahteraan.
Kesejahteraan sosial mengacu pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan asumsi cukup kuat, ia bisa ditetapkan sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat.
Dilain hal masalah ekonomi kesejahteraan mengklasifikasikan, meliputi eksternalitas, ekuitas, keadilan, ketimpangan, dan altruisme. Kesejahteraan ekonomi menggunakan banyak teknik yang sama seperti ekonomi mikro dan dapat dilihat sebagai teori ekonomi mikro menengah atau lanjutan. Hasilnya dapat diterapkan pada ekonomi makro sehingga masalah ekonomi kesejahteraan adalah sedikit dari jembatan antara dua cabang ilmu ekonomi. Analisis biaya-manfaat merupakan aplikasi spesifik dari teknik kesejahteraan ekonomi, tetapi tidak termasuk aspek pendapatan distribusi.
Pareto kesejahteraan ekonomi bertumpu pada asumsi penilaian bahwa, jika perubahan tertentu dalam perekonomian dan dari setidaknya satu orang yang lebih baik dan tidak ada individu lebih buruk, kesejahteraan sosial dapat dikatakan mengalami peningkatan. Kesejahteraan ekonomi memberikan dasar untuk menilai prestasi pasar dan kebijakan keputusan dalam mengalokasikan sumber daya.

A.   Benefit Cost Analysis Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Salah satu alat analisis dalam memilih bagaimana agar sumber daya alam yang tersedia dapat menciptakan hasil yang optimal, adalah apa yang disebut analisis manfaat biaya (benefit cost analysis). Pada prinsipnya analisis ini mencoba menghitung keuntungan/manfaat yang akan diperoleh dan biaya kerugian yang akan ditanggung sebagai akibat pengembangan suatu sumber daya alam. Selisih antara manfaat dan biaya tersebut disebut manfaat bersih (net benefit). Suatu prinsip yang ideal dalam kebijaksanaan penggunaan barang sumber daya alam adalah membuat pengeluaran-pengeluaran bagi setiap tujuan sedemikian rupa sehingga manfaat (marginal benefit) dari pengeluaran satuan rupiah yang terakhir marjinal benefit lebih besar atau paling tidak sama dengan hilangnya manfaat dari kegiatan-kegiatan lain karena pengeluaran tersebut (marginal cost).
          Dengan menyamakan tambahan manfaat (marginal benefit=MB) sama dengan tambahan biaya marjinal (marginal cost= MC), maka akan berarti tercapainya pemecahan masalah alokasi faktor-faktor produksi (input)  yang maksimal dalam kegiatan pengambilan sumber daya tersebut. Ini berarti terpenuhinya suatu keadaan dimana setiap kegiatan pengambilan sumber daya alam akan menghasilkan suatu manfaat yang paling tidak sama dengan nilai barang-barang yang hilang dari kegiatan lain yang tidak jadi dilaksanakan pada saat ini, atau dari kegiatan yang sama pada saat yang akan datang. Dengan demikian akan berarti pula bahwa manfaat dari tambahan kegiatan pengambilan sumber daya alam akan melebihi atau paling tidak sama dengan biaya alternatif (opportunity cost).
          Analisis perbandingan biaya dan manfaat ini dapat digunakan untuk mengatasi layak atau tidaknya pengambilan suatu jenis sumber daya alam, misalnya pertambangan di hutan lindung atas dasar berbagai teknik penambangan. Walaupun demikian harus diperhatikan hal-hal, berikut:
1.    Dalam keadaan yang sesungguhnya seringkali kenyataan yang ditemui berbeda dengan rencana-rencana yang dibuat berdasarkan suatu ramalan. Data yang diperlukan tidak tersedia atau data yang ada banyak yang tidak sempurna.
2.    Kita harus memperluas pengertian kita mengenai biaya dan manfaat tambahan yaitu menjadi tambahan biaya sosial (social marginal cost=SMC) dan tambahan manfaat sosial (sosial marginal benefit=SMB) yang memasukkan dimensi lingkungan.
3.    Yang paling penting adalah menyatakan besarnya manfaat dan biaya dalam nilai uang tertentu. Tanpa mengetahui nilai uang ini maka analisis SMB=SMC tidak ada gunanya, atau setidak-tidaknya kurang bermanfaat. Untuk itu biasanya digunakan harga bayangan (shadow price atau accounting price).

Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah bagaimana kita dapat membandingkan antara manfaat total (total benefit) dan biaya total (total cost) , sehingga dapat ditentukan proyek atau kegiatan mana yang harus dilaksanakan. Di antara berbagai proyek, hendaknya dipilih proyek yang memberikan manfaat bersih (net benefit) (selisih antara manfaat total dan biaya total) yang terbesar yaitu dimana SMB=SMC. Prinsip pertama yang harus diingat adalah bahwa proyek-proyek itu harus memiliki net present value (NPV)>0 atau B/C ratio >1, artinya manfaat harus lebih besar dari pada biaya atau pengorbanannya. Kemudian di antara proyek-proyek yang NPV>0 dan B/C>1 itu dipilih yang nilainya paling tinggi dengan biaya yang sama.
          Pada sisi manfaat pengusaha akan menghitung aliran pendapatan yang akan diterima selama jangka waktu pengoperasian. Untuk menentukan besarnya aliran tersebut dapat digunakan dua cara perhitungan yaitu:
1.    Menentukan nilai sekarang (present value) dari keuntungan bersih yang akan diperoleh, atau
2.    Melalui penentuan tingkat hasil kembali (rate of return) dari pengusahaan tersebut.
Digunakannya nilai sekarang sebagai ukuran disebabkan biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh tidak terjadi dalam suatu waktu tertentu, namun akan terjadi selama jangka umur perusahaan. Oleh sebab itu seluruh biaya dan penerimaan perlu dinilai kembali menurut nilai pada waktu tertentu. Umumnya tahu permulaan dijadikan pedoman. Jadi nilai sekarang yang dimaksudkan adalah seluruh biaya dan penerimaan yang dinilai menurut nilai pada tahun permulaan pengusahaan.
Perbedaan antara nilai sekarang dan nilai sebenarnya dari biaya dan penerimaan akan tergantung pada tingkat bunga yang berlaku dan lamanya tenggang waktu antara permulaan pengusahaan dengan saat dikeluarkannya biaya dan masuknya pendapatan. Nilai sekarang dari aliran biaya atau penerimaan pada tahun tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut:
                  
PV =
PV adalah nilai sekarang, x adalah biaya atau penerimaan pada tahun t, r adalah tingkat bunga dan t adalah tenggang waktu.
Mengingat aliran  biaya dan penerimaan berlangsung selama umur pengusahaan, maka nilai sekarang dari manfaat bersih sepanjang umur pengusahaan dapat dirumuskan:
PVb =

Pengusahaan dikatakan bermanfaat jika nilai PVb positif.
          Cara lain penghitungan manfaat pengusahaan adalah menentukan “rate of Return” atau nilai r dengan cara membuat nilai PVb  sama dengan nol. Pengusahaan akan memberikan manfaat jika “rate of return” tersebut lebih tinggi dari pada tingkat bunga yang berlaku.
          Pertimbangan dan penetuan tingkat bunga tersebut akan sangat berpengaruh dalam mengambil keputusan konservasi. Keseimbangan manfaat dan biaya menjadi sukar dengan adanya perbedaan penggunaan tingkat bunga yang dipakai. Sisi manfaat sering dihitung dengan cara “discounting” atau menilai  penerimaan yang akan datang sekarang. Sedangkan sisi pengeluaran atau biaya untuk konservasi dihitung dengan cara “coumpounding” atau menilai pengeluaran sekarang ke waktu yang akan datang. Jika tingkat bunga yang dipakai untuk “discounting” dan “coumpounding” sama besarnya maka pada jangka waktu tertentu penerimaan pengeluaran tersebut bisa dibandingkan sehingga bisa diketahui apakah usaha konservasi tersebut akan menguntungkan atau tidak. Pada kenyataannya “discount” dan “compound” sangat berbeda disebabkan faktor-faktor tujuan individu pengusaha yang berbeda, kurangnya kesadaran dan pengetahuan, faktor kelembagaan dan lain-lain.
          Disamping itu tingkat bunga yang dikehendaki pengusaha akan sangat tergantung pada apa yang disebut “time preference” nya. Jika si pengusaha berpandangan lebih baik menikmati hasil sekarang dari pada di masa mendatang maka sumber daya alam cenderung untuk dieksploitasi segera. Sebaliknya ada pengusaha yang lebih suka mengembangkan sumber daya alam terlebih dahulu, baru dipetik hasilnya di masa mendatang.
Yang menjadi masalah ialah  bahwa keuntungan dipihak pengusaha tidak pasti memberikan keuntungan bagi masyarakat. Para pengusaha sering tidak memasukkan biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat (misalnya pencemaran lingkungan) dalam unsur biayanya. Sehingga dari segi kepentingan umum akan lebih baik menghitung keuntungan dan biaya suatu pengusahaan sumber daya alam melalui analisis manfaat biaya sosial. Dalam hal ini sisi manfaat merupakan keseluruhan manfaat yang diterima masyarakat (manfaat sosial) dan biaya merupakan biaya dan pengorbanan yang ditanggung seluruh masyarakat atau biaya sosial. Yang harus dimaksimumkan dalam analisis ini adalah keuntungan bersih sosial. Tentu saja penghitungan manfaat biaya sosial menjadi lebih rumit karena manfaat dan biaya yang dihitung tidak hanya terbatas pada hasil dan biaya yang berwujud uang, namun meliputi pula hasil dan biaya yang tidak berwujud uang. Sedangkan tingkat bunga yang dipakai merupakan tingkat bunga sosial. Besarnya tingkat diskonto sosial tergantung kepada penilaian pentingnya suatu sumber daya alam bila dilihat dari keuntungan bersih di masa depan.
Jika diingat dalam konservasi terkandung unsur waktu, yaitu penggunaan sumber daya alam yang mampu memberikan hasil optimal selama mungkin, maka analisis manfaat biaya sosial lebih bisa menjamin tujuan konservasi dibanding analisis manfaat biaya dari sudut pengusaha. Kepentingan menjamin generasi mendatang untuk tetap bisa menikmati sumber daya alam lebih tercermin dalam analisis manfaat biaya sosial. 
 

A.   Macam Manfaat dan Biaya Suatu Proyek.
Manfaat dan biaya suatu proyek dapat dibedakan antara “manfaat dan biaya riil” (real benefits and costs)  dan “manfaat dan biaya semu” (pecuniary benefits and costs) .
1.    Manfaat riil adalah manfaat yang timbuk bagi seseorang/masyarakat yang tidak diimbangi oleh hilangnya manfaat bagi pihak lain. Demikian pula biaya riil adalah biaya yang sungguh-sungguh ada dalam masyarakat dan tidak lagi dikurangi beban bagi pihak lain. Selanjutnya manfaat semu adalah manfaat yang timbul dari suatu proyek yang diterima oleh sekelompok orang tertentu, tetapi ada sekelompok orang lain yang jadi menderita karena adanya proyek tersebut. Manfaat semu ini tidak diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan biaya proyek, sedangkan manfaat riil diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan biaya suatu proyek.
2.    Perbedaan lebih lanjut terhadap manfaat dan biaya riil dari suatu proyek adalah antara manfaat dan biaya langsung (direct benefits and cost)  dengan manfaat dan biaya tidak langsung (inderect benefits and costs).
Manfaat dan biaya langsung adalah manfaat dan biaya yang dekat hubungannya dengan tujuan utama dari suatu proyek. Sedangkan manfaat dan biaya tidak langsung dari suatu proyek lebih merupakan hasil sampingan dari proyek tersebut. Sebagai contoh adalah, rencana pembangunan bendungan Glapan di daerah pengaliran sungai Jratuseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana) di Jawa Tengah. Pembangunan bendungan ini terutama dimaksudkan untuk menyediakan air irigasi yang cukup sepanjang tahun bagi tanah seluas 7.627 Ha. Disamping itu juga untuk menanggulangi atau mengurangi banjir. Manfaat yang berupa penyediaan air irigasi dapat dikatakan sebagai manfaat langsung karena memang tujuan utama proyek itu, sedangkan penanggulangan banjir merupakan manfaat sampingan. Memang sulit membedakan manfaat langsung dan manfaat tidak langsung secara tegas, namun kita secra sederhana dapat merasakannya. Biaya langsung adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan seperti biaya pembangunan dam itu sendiri, sedangakan biaya tidak langsung dari proyek itu berupa pemindahan penduduk dari lokasi proyek ke daerah lain karena daerah proyek itu akan digenangi air, juga misalnya hilangnya sebagian hutan, sawah dan sebagainya di daerah proyek tersebut. Manfaat dan biaya tidak langsung ini sering pula disebut sebagai manfaat dan biaya tidak langsung ini  sering pula disebut sebagai manfaat dan biaya sekunder (secundary benefits and secondary costs), sedangkan manfaat dan biaya langsung disebut juga manfaat dan biaya primer (primary benefits and primary costs).
3.    Manfaat dan biaya dibedakan pula menjadi manfaat dan biaya yang “tangibel” (yang dapat diraba) dan yang “intangible” (yang tak dapat diraba). Istilah dapat diraba diterapkan bagi biaya dan manfaat yang dapat dinilai di pasar, sedangkan manfaat dan biaya yang tidak dapat dipasarkan adalah tidak dapat diraba. Keindahan suatu bendungan merupakan contoh dari “intangible benefits”, sedangkan naiknya produksi pertanian karena tersedianya air yang cukup sepanjang tahun sebagai akibat pembangunan bendungaan merupaakan “tangible benefits”. Demikian pula biaya pembangunan bendungan dapat dipakai sebagai contoh dari “tangible costs” , sedangkan hilangnya kapasitas mencegah banjir  oleh hutan yang diganti dengan danau buatan merupakan “intangible costs”. Meskipun manfaat dan biaya yang tidak dapat dipasarkan sulit dihitung, tetapi harus dipertimbangkan dalam perhitungan manfaat dan biaya suatu proyek.
4.    Di samping pembedaan diatas, manfaat dan biaya riil dapat pula dibedakan menjadi manfaat dan biaya “internal” dan “external”. Suatu proyek di suatu daerah (kabupaten, misalnya) dapat menghasilkan manfaat dan biaya di dalam kabupaten itu sendiri (internal benefits and interna costs) , tetapi dapat pula memberikan manfaat dan biaya/pengorbanan di kabupaten lain(external benefits and external costs). Kedua manfaat dan biaya ini harus diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan biaya suatu proyek. Manfaat dan biaya eksternal disebut juga manfaat dan biaya lingkungan.
Analisis biaya dan manfaat (ABM) dapat pula digunakan untuk mengevaluasi proyek-proyek yang dapat mengganggu lingkungan hidup dan untuk kepentingan umum. Konsep ABM sangat sederhana yaitu mengenali manfaat dan biaya atas suatu proyek, kemudian mengukurnya dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila nilai manfaat lebih besar dari pada nilai biaya, maka proyek tersebut akan menuju ke alokasi faktor produksi yang efisien. Seperti diuraikan diatas tampak sangat sederhana, tetapi dalam pelaksanaannya akan terdapat banyak kesulitan yang berhubungan dengan hal berikut:
1.    Bagaimana mengenal dan mengukur manfaat?
2.    Bagaimana mengenal dan mengukur biaya?
3.    Bagaimana menentukan waktu/umur proyek?
4.    Bagaimana menentukan tingkat diskonto/discount rate?

B.   Mengenal dan Mengukur Manfaat Suatu Proyek.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini, adalah:
1.    Menentukan dampak dari proyek, yaitu barang dan jasa apa yang akan diperoleh dari proyek tersebut, dan
2.    Menyatakan dampak dari proyek tersebut secara fisik kuantitatif.
3.    Menyatakan nilai uang IDR, US$ dari dampak fisik.

Biasanya langkah kedua menjadi sangat sulit, sebab berhubungan dengan bagaimana kita mengukur manfaat. Untuk itu biasanya digunakan pendekatan sebesar nilai rupiah yang maksimum orang bersedia membayar maximum willingness to pay karena memanfaatkan jasa-jasa proyek itu.
Dengan adanya pembonceng bebas (free rider), maka kita tidak dapat secara tepat meneliti siapa saja yang akan memanfaatkan proyek. Kesulitan yang lain adalah untuk membedakan manfaat langsung dan tidak langsung, sehingga timbul perhitungan ganda dalam menghitung manfaat suatu proyek.

C.   Mengenal dan Mengukur Biaya Proyek.
Konsekuensi dari adalah adalah adanya beban serta pengorbanan, yang ini merupakan biaya dari proyek tersebut. Biaya proyek meliputi penggunaan faktor-faktor produksi yang terlibat dalam pembangunan suatu proyek, termasuk pula “opportunity cost” yang berupa pengorbanan atau hilangnya jasa produksi pada sektor lain. Sekalipun dalam menghitung biaya dalam suatu proyek jauh lebih  mudah dibandingkan dalam menghitung manfaat, namun juga tidak terlepas dari adanya kesulitan, seperti bisa timbul perhitungan ganda (double counting) atau juga “over estimate”. Suatu proyek mungkin memiliki dampak terhadap suatu daerah tertentu, sedangkan proyek lain juga mempunyai dampak terhadap daerah tersebut. Misalnya sulit memisahkan antara dampak Proyek Bangun Desa Yogyakarta dan dampak program BIMAS terhadap kenaikan produksi padi di kelurahan Kedung Poh di Gunung Kidul, sehingga sulit menentukan “opportunity costsnya”. Dalam menghitung biaya suatu proyek biasanya hanya diperhatikan dalam lokasi dimana proyek itu berada, sedangkan sesungguhnya biaya ini tersebar ke sluruh perekonomian. Misalnya jika pembiayaan proyek tersebut diambilkan dari pajak, maka hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian secara makro, maka kalau dampak biaya suatu proyek diperhitungkan juga secara makro akan timbul kesulitan dalam memperkirakannya.

D.   Menentukan Waktu dan Bunga Diskonto.
Manfaat suatu proyek biasanya akan diterima beberapa tahun setelah proyek itu selesai dan proyek itu akan selalu memberikan manfaat/jasa-jasa yang dapat diterima pada tahun-tahun yang akan datang. Kesulitannya adalah dalam menentukan tingkat diskonto atau tingkat bunga (discount rate)  dan juga menentukan umur proyek tersebut. Sering suatu proyek secra ekonomis sudah tidak berfungsi, tetapi secara teknis masih berfungsi, atau sebaliknya.
          Selanjutnya prinsip efisiensi tidak membedakan antara usaha pemerintah ataupu usaha swasta. Oleh karena itu tingkat diskonto ditentukan menurut prinsip bahwa tambahan nilai kapital yang diciptakan oleh instansi pemerintah harus sama dengan tambahan nilai kapital yang diciptakan oleh swasta, serta konsumsi di masa yang akan datang yang dikorbankan karena investasi tersebut. Investasi di sektor swasta  maupun pemerintah akan menyamakan tingkat diskonto dengan tingkat bunga pasar, dengan hasil yang diharapkan (marginal effiiency of investment) dan dengan marginal rate of time preference.
          Dalam praktek, tingkat diskonto yang diterapkan pada investasi publik dapat berbeda dengan tingkat bunga pasar, dan biasanya justru lebih rendah. Beberapa orang menyatakan bahwa perbedaan itu tidaklah efisien dan terjadi hanya karena faktor sektor publik (pemerintah) dapat memperoleh dana (modal) dengan lebih mudah misalnya melalui pencetakan uang, penjualan obligasi ataupun dengan penarikan pajak. Sesungguhnya dengan menentukan tingkat diskonto yang lebih rendah pemerintah mengurangi kesejahteraan masyarakat, karena pemilik dana akan menerima pendapatan yang rendah dan masyarakat atau generasi saat ini akan menunda pengambilan sumber daya alam.
          Di sisi lai ada yang berpendapat bahwa tingkat bunga pasar lebih tepat bagi investasi proyek-proyek yang mempunyai umur yang relatif pendek (misalnya 30 tahun). Oleh karenanya tingkat bunga pasar itu lebih tinggi dari pada tingkat bunga sosial (publik). Perbedaan mengenai tingkat diskonto ini mempunyai dampak penting bagi hasil AMB. Tingkat diskonto yang lebih tinggi, apabila hal-hal lain tetap (ceteris paribus) akan lebih sedikit usulan yang dapat lulus dari saringan ABM, dan usulan proyek yang menghasilkan manfaat besar pada awal periode dan biaya besar pada akhir periode akan lebih dapat diterima untuk dilaksanakan.
          Memang untuk investasi publik yang setaraf dengan investasi swasta adalah kurang dapat dibenarkan bila perhitungan ABM menggunakan tingkat diskonto yang lebih rendah daripada tingkat bunga pasar. Mengalihkan dana dari sektor swasta ke sektor publik, demi untuk mencapai manfaat neto yang ternyata lebih rendah daripada tingkat bunga pasar merupakan usaha yang tidak efisien. Sesungguhnya pula tidaklah berguna untuk memihak pada penilaian efisien atas suatu proyek dengan cara manipulasi tingkat dikonto, untuk membuat proyek yang tidak efisien menjadi efisien. Juga perlu dimengerti bahwa dengan membuat tingkat bunga sosial sama dengan tingkat bunga pasar, berdasarkan pengalaman juga tidak dapat memecahkan permasalahan. Lebih-lebih lagi ternyata tidak hanya ada satu macam tingkat bunga pasar dan bahkan tingkat bunga itu seringkali juga berubah-ubah. Tingkat bunga sesungguhnya mencerminkan empat parameter yang berbeda.
1.    Tingkat hasil yang diperoleh. (MEI).
2.    Biaya transaksi di sektor finansial yang menyebabkan peminjam harus membayar tingkat bunga yang lebih tinggi daripada penabung.
3.    Tingkat inflsi yang diperkirakan.
4.    Resiko kreditor, yang mencerminkan kemungkinan adanya debitor yang tidak membayar pokok pinjaman maupun bunganya berbagai alasan.
Selanjutnya tidaklah mudah untuk memastikan tingginya tingkat hasil yang diharapkan melalui pengamatan terhadap tingkat bunga. Investasi  publik tidak harus bebas dari resiko dan sektor publik tidak pula tanpa biaya transaksi.
Pada umumnya tingkat bunga uang (m) disesuaikan dengan tingkat inflasi yang diperkirakan sebelumnya (p*), sehingga m=r+p*, atau tingkat bunga uang sama dengan tingkat riil ditambah dengan laju inflasi, dimana r adalah tingkat bunga riil. Perkiraan laju inflasi biasanya bersifat tidak sempurna, lebih-lebih pada masa ketidakpastian mengenai inflasi yang akan datang, m cenderung disesuaikan keatas untuk mencerminkan tingkat inflasi (p*) yang diharapkan dan unsur ketidakpastian yang ada dan pada gilirannya terhadap tingkat bunga pasar (m) di masa datang. Oleh karena (m) dan bukan (r) yang dapat diamati, maka justru kita yang akan menentukan (r) dari hasil pengamatan terhadap (m). Disamping itu ada tingkat bunga riil yaitu tingkat bunga uang dikurangi dengan tingkat inflasi, yang sangat berfluktuasi.
Tingkat bunga tidak mungkin sama bagi penabung dan bagi peminjam, khususnya dalam keadaan dimana biaya transaksi itu positif. Tingkat bunga uang untuk penabung (ms) harus lebih rendah daripada tingkat bunga uang untuk peminjam (mb), sebesar jumlah biaya transaksi (t). Jadi mb=ms +t atau ms=mb-t. Kalau penabung dikenai pajak atas bunga yang diperolehnya, maka ia sesungguhnya mendapat imbalan jasa atas uang yang ditabungkan itu sebesar ms dikurangi pajak, dan peminjam paling tidak harus hasil usaha sebesar mb.
Sehingga disarankan, agar penggunaan tingkat bunga maupun harga untuk semua barang disesuaikan dengan adanya unsur inflasi. Dengan kata lain manfaat maupun biaya yang timbul selama umur perencanaan harus diperhitungkan pada harga yang berlaku dan bila ingin mendapatkan rasio antara manfaat dan biaya harus dinyatakan dalam harga konstan atau dalam nilai sekarang (present value).
Meskipun ABM merupakan suatu alat penilaian (evaluasi), tetapi tidak harus digunakan sebagai alat penyaring untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proyek pemanfaatan sumber daya alam  dan lingkungan. Namun demikian dalam praktik ABM justru  sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menentukan urutan penting tidaknya suatu proyek itu untuk dilaksanakan. ABM lebih banyak melihat suatu proyek dari segi efisiensi, dan para politisi atau pengambil keputusan sering  memutuskan terhadap pelaksanaan proyek tanpa mentaati kriteria efisiensi tersebut, tetapi lebih pada pertimbangan politis, sosial, dan sebagainya. Di lain pihak banyak lembaga yang sungguh-sungguh menggunakan ABM sebagai alat yang ketat bagi perencanaan intern.
Dalam dua puluh tahu terakhir ada perkembangan perhatian pemerintah, khususnya di Indonesia, terhadap berbagai macam proyek dan program pemerintah yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang menyangkut berbagai bentuk pengorbanan masyarakat umum dan perorangan demi tercapainya kesejahteraan atau manfaat bagi masyarakat maupun kesejahteraan perorangan. Dengan kata lain keputusan yang memperhatikan program pengolahan sumber daya alam dan lingkungan telah dianggap sebgai keputusan-keputusan ekonomi. Kesadran pemerintah dan masyarakat ini telah tercermin dengan adanya keharusan untuk membuat analisis ekonomi tentang biaya dan manfaat suatu proyek dengan ANDAL. Dalam penerapannya ABM mengambil bagian sebgai alat perencanaan dan evaluasi yang utama. Memang tidak ada keharusan bahwa manfaat suatu proyek atau program harus melebihi biaya-biayanya sebagai prasyarat pelaksanaan suatu proyek. Penemuan ABM dapat juga dipakai untuk mempengaruhi pendapat masyarakat apabila hasilnya harus disebarluaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELUARGA AGUS SALIM

KELUARGA AGUS SALIM
SEMARANG, 3 SEPTEMBER 2011