Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan diterapkan, seperti dalam analisis biaya-manfaat, yang sering
digunakan adalah nilai uang perkiraan, terutama karena pendapatan merupakan distribusi efek faktor dalam analisis. Tidak ada persyaratan dari ukuran kuantitatif yang
unik dari perbaikan kesejahteraan tersirat ini. Aspek lain dari kesejahteraan
memperlakukan pendapatan/barang distribusi, termasuk kesetaraan, sebagai dimensi lebih lanjut dari kesejahteraan.
Kesejahteraan sosial mengacu pada
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan asumsi cukup kuat, ia bisa
ditetapkan sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam
masyarakat.
Dilain hal masalah ekonomi kesejahteraan mengklasifikasikan, meliputi eksternalitas, ekuitas, keadilan, ketimpangan, dan altruisme. Kesejahteraan ekonomi menggunakan banyak teknik yang
sama seperti ekonomi mikro dan dapat dilihat sebagai teori ekonomi mikro
menengah atau lanjutan. Hasilnya dapat diterapkan pada ekonomi makro
sehingga masalah ekonomi kesejahteraan adalah sedikit dari jembatan antara dua
cabang ilmu ekonomi. Analisis biaya-manfaat merupakan
aplikasi spesifik dari teknik kesejahteraan ekonomi, tetapi tidak termasuk
aspek pendapatan distribusi.
Pareto kesejahteraan ekonomi bertumpu pada asumsi penilaian bahwa, jika
perubahan tertentu dalam perekonomian
dan dari setidaknya satu orang yang lebih baik dan tidak ada individu lebih
buruk, kesejahteraan sosial dapat dikatakan mengalami peningkatan.
Kesejahteraan ekonomi memberikan dasar untuk menilai prestasi pasar dan
kebijakan keputusan
dalam mengalokasikan sumber daya.
A.
Benefit Cost Analysis Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Salah satu alat analisis dalam memilih bagaimana agar sumber daya alam yang
tersedia dapat menciptakan hasil yang optimal, adalah apa yang disebut analisis
manfaat biaya (benefit cost analysis). Pada
prinsipnya analisis ini mencoba menghitung keuntungan/manfaat yang akan
diperoleh dan biaya kerugian yang akan ditanggung sebagai akibat pengembangan
suatu sumber daya alam. Selisih antara manfaat dan biaya tersebut disebut
manfaat bersih (net benefit). Suatu
prinsip yang ideal dalam kebijaksanaan penggunaan barang sumber daya alam
adalah membuat pengeluaran-pengeluaran bagi setiap tujuan sedemikian rupa
sehingga manfaat (marginal benefit) dari
pengeluaran satuan rupiah yang terakhir marjinal benefit lebih besar atau
paling tidak sama dengan hilangnya manfaat dari kegiatan-kegiatan lain karena
pengeluaran tersebut (marginal cost).
Dengan menyamakan tambahan
manfaat (marginal benefit=MB) sama
dengan tambahan biaya marjinal (marginal
cost= MC), maka akan berarti tercapainya pemecahan masalah alokasi
faktor-faktor produksi (input) yang maksimal dalam kegiatan pengambilan
sumber daya tersebut. Ini berarti terpenuhinya suatu keadaan dimana setiap
kegiatan pengambilan sumber daya alam akan menghasilkan suatu manfaat yang
paling tidak sama dengan nilai barang-barang yang hilang dari kegiatan lain
yang tidak jadi dilaksanakan pada saat ini, atau dari kegiatan yang sama pada
saat yang akan datang. Dengan demikian akan berarti pula bahwa manfaat dari
tambahan kegiatan pengambilan sumber daya alam akan melebihi atau paling tidak
sama dengan biaya alternatif (opportunity
cost).
Analisis perbandingan biaya dan manfaat ini dapat digunakan untuk mengatasi
layak atau tidaknya pengambilan suatu jenis sumber daya alam, misalnya
pertambangan di hutan lindung atas dasar berbagai teknik penambangan. Walaupun
demikian harus diperhatikan hal-hal, berikut:
1. Dalam keadaan yang sesungguhnya seringkali kenyataan yang ditemui berbeda
dengan rencana-rencana yang dibuat berdasarkan suatu ramalan. Data yang
diperlukan tidak tersedia atau data yang ada banyak yang tidak sempurna.
2. Kita harus memperluas pengertian kita mengenai biaya dan manfaat tambahan
yaitu menjadi tambahan biaya sosial (social
marginal cost=SMC) dan tambahan manfaat sosial (sosial marginal benefit=SMB) yang memasukkan dimensi lingkungan.
3. Yang paling penting adalah menyatakan besarnya manfaat dan biaya dalam
nilai uang tertentu. Tanpa mengetahui nilai uang ini maka analisis SMB=SMC
tidak ada gunanya, atau setidak-tidaknya kurang bermanfaat. Untuk itu biasanya
digunakan harga bayangan (shadow price
atau accounting price).
Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah bagaimana
kita dapat membandingkan antara manfaat total (total benefit) dan biaya total (total
cost) , sehingga dapat ditentukan proyek atau kegiatan mana yang harus
dilaksanakan. Di antara berbagai proyek, hendaknya dipilih proyek yang
memberikan manfaat bersih (net benefit) (selisih
antara manfaat total dan biaya total) yang terbesar yaitu dimana SMB=SMC.
Prinsip pertama yang harus diingat adalah bahwa proyek-proyek itu harus memiliki
net present value (NPV)>0 atau B/C ratio >1, artinya manfaat harus lebih
besar dari pada biaya atau pengorbanannya. Kemudian di antara proyek-proyek
yang NPV>0 dan B/C>1 itu dipilih yang nilainya paling tinggi dengan biaya
yang sama.
Pada sisi manfaat pengusaha
akan menghitung aliran pendapatan yang akan diterima selama jangka waktu
pengoperasian. Untuk menentukan besarnya aliran tersebut dapat digunakan dua
cara perhitungan yaitu:
1. Menentukan nilai sekarang (present
value) dari keuntungan bersih yang akan diperoleh, atau
2. Melalui penentuan tingkat hasil kembali (rate of return) dari pengusahaan tersebut.
Digunakannya nilai sekarang sebagai ukuran disebabkan
biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh tidak terjadi dalam suatu
waktu tertentu, namun akan terjadi selama jangka umur perusahaan. Oleh sebab
itu seluruh biaya dan penerimaan perlu dinilai kembali menurut nilai pada waktu
tertentu. Umumnya tahu permulaan dijadikan pedoman. Jadi nilai sekarang yang
dimaksudkan adalah seluruh biaya dan penerimaan yang dinilai menurut nilai pada
tahun permulaan pengusahaan.
Perbedaan antara nilai sekarang dan nilai sebenarnya
dari biaya dan penerimaan akan tergantung pada tingkat bunga yang berlaku dan
lamanya tenggang waktu antara permulaan pengusahaan dengan saat dikeluarkannya
biaya dan masuknya pendapatan. Nilai sekarang dari aliran biaya atau penerimaan
pada tahun tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut:
PV =
PV adalah nilai sekarang, x adalah biaya atau penerimaan pada tahun t, r
adalah tingkat bunga dan t adalah tenggang waktu.
Mengingat aliran biaya dan
penerimaan berlangsung selama umur pengusahaan, maka nilai sekarang dari
manfaat bersih sepanjang umur pengusahaan dapat dirumuskan:
PVb =
Pengusahaan dikatakan bermanfaat jika nilai PVb positif.
Cara lain penghitungan
manfaat pengusahaan adalah menentukan “rate of Return” atau nilai r dengan cara
membuat nilai PVb sama dengan
nol. Pengusahaan akan memberikan manfaat jika “rate of return” tersebut lebih
tinggi dari pada tingkat bunga yang berlaku.
Pertimbangan dan penetuan
tingkat bunga tersebut akan sangat berpengaruh dalam mengambil keputusan
konservasi. Keseimbangan manfaat dan biaya menjadi sukar dengan adanya
perbedaan penggunaan tingkat bunga yang dipakai. Sisi manfaat sering dihitung
dengan cara “discounting” atau menilai
penerimaan yang akan datang sekarang. Sedangkan sisi pengeluaran atau
biaya untuk konservasi dihitung dengan cara “coumpounding” atau menilai
pengeluaran sekarang ke waktu yang akan datang. Jika tingkat bunga yang dipakai
untuk “discounting” dan “coumpounding” sama besarnya maka pada jangka waktu
tertentu penerimaan pengeluaran tersebut bisa dibandingkan sehingga bisa
diketahui apakah usaha konservasi tersebut akan menguntungkan atau tidak. Pada
kenyataannya “discount” dan “compound” sangat berbeda disebabkan faktor-faktor
tujuan individu pengusaha yang berbeda, kurangnya kesadaran dan pengetahuan,
faktor kelembagaan dan lain-lain.
Disamping itu tingkat bunga
yang dikehendaki pengusaha akan sangat tergantung pada apa yang disebut “time
preference” nya. Jika si pengusaha berpandangan lebih baik menikmati hasil
sekarang dari pada di masa mendatang maka sumber daya alam cenderung untuk
dieksploitasi segera. Sebaliknya ada pengusaha yang lebih suka mengembangkan
sumber daya alam terlebih dahulu, baru dipetik hasilnya di masa mendatang.
Yang menjadi masalah ialah bahwa keuntungan dipihak pengusaha tidak pasti
memberikan keuntungan bagi masyarakat. Para pengusaha sering tidak memasukkan
biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat (misalnya pencemaran lingkungan)
dalam unsur biayanya. Sehingga dari segi kepentingan umum akan lebih baik
menghitung keuntungan dan biaya suatu pengusahaan sumber daya alam melalui
analisis manfaat biaya sosial. Dalam hal ini sisi manfaat merupakan keseluruhan
manfaat yang diterima masyarakat (manfaat sosial) dan biaya merupakan biaya dan
pengorbanan yang ditanggung seluruh masyarakat atau biaya sosial. Yang harus
dimaksimumkan dalam analisis ini adalah keuntungan bersih sosial. Tentu saja
penghitungan manfaat biaya sosial menjadi lebih rumit karena manfaat dan biaya
yang dihitung tidak hanya terbatas pada hasil dan biaya yang berwujud uang,
namun meliputi pula hasil dan biaya yang tidak berwujud uang. Sedangkan tingkat
bunga yang dipakai merupakan tingkat bunga sosial. Besarnya tingkat diskonto
sosial tergantung kepada penilaian pentingnya suatu sumber daya alam bila dilihat
dari keuntungan bersih di masa depan.
Jika diingat dalam konservasi terkandung unsur waktu,
yaitu penggunaan sumber daya alam yang mampu memberikan hasil optimal selama
mungkin, maka analisis manfaat biaya sosial lebih bisa menjamin tujuan
konservasi dibanding analisis manfaat biaya dari sudut pengusaha. Kepentingan
menjamin generasi mendatang untuk tetap bisa menikmati sumber daya alam lebih
tercermin dalam analisis manfaat biaya sosial.
A.
Macam Manfaat dan Biaya Suatu Proyek.
Manfaat dan biaya suatu proyek dapat dibedakan antara “manfaat dan biaya
riil” (real benefits and costs) dan “manfaat dan biaya semu” (pecuniary benefits and costs) .
1. Manfaat riil adalah manfaat yang timbuk bagi seseorang/masyarakat yang
tidak diimbangi oleh hilangnya manfaat bagi pihak lain. Demikian pula biaya
riil adalah biaya yang sungguh-sungguh ada dalam masyarakat dan tidak lagi
dikurangi beban bagi pihak lain. Selanjutnya manfaat semu adalah manfaat yang
timbul dari suatu proyek yang diterima oleh sekelompok orang tertentu, tetapi
ada sekelompok orang lain yang jadi menderita karena adanya proyek tersebut.
Manfaat semu ini tidak diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan biaya
proyek, sedangkan manfaat riil diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan
biaya suatu proyek.
2. Perbedaan lebih lanjut terhadap manfaat dan biaya riil dari suatu proyek
adalah antara manfaat dan biaya langsung (direct
benefits and cost) dengan manfaat
dan biaya tidak langsung (inderect
benefits and costs).
Manfaat dan biaya langsung adalah manfaat dan biaya yang dekat hubungannya
dengan tujuan utama dari suatu proyek. Sedangkan manfaat dan biaya tidak
langsung dari suatu proyek lebih merupakan hasil sampingan dari proyek
tersebut. Sebagai contoh adalah, rencana pembangunan bendungan Glapan di daerah
pengaliran sungai Jratuseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana) di
Jawa Tengah. Pembangunan bendungan ini terutama dimaksudkan untuk menyediakan
air irigasi yang cukup sepanjang tahun bagi tanah seluas 7.627 Ha. Disamping itu
juga untuk menanggulangi atau mengurangi banjir. Manfaat yang berupa penyediaan
air irigasi dapat dikatakan sebagai manfaat langsung karena memang tujuan utama
proyek itu, sedangkan penanggulangan banjir merupakan manfaat sampingan. Memang
sulit membedakan manfaat langsung dan manfaat tidak langsung secara tegas,
namun kita secra sederhana dapat merasakannya. Biaya langsung adalah biaya yang
benar-benar dikeluarkan seperti biaya pembangunan dam itu sendiri, sedangakan
biaya tidak langsung dari proyek itu berupa pemindahan penduduk dari lokasi
proyek ke daerah lain karena daerah proyek itu akan digenangi air, juga
misalnya hilangnya sebagian hutan, sawah dan sebagainya di daerah proyek
tersebut. Manfaat dan biaya tidak langsung ini sering pula disebut sebagai
manfaat dan biaya tidak langsung ini
sering pula disebut sebagai manfaat dan biaya sekunder (secundary benefits and secondary costs), sedangkan
manfaat dan biaya langsung disebut juga manfaat dan biaya primer (primary benefits and primary costs).
3. Manfaat dan biaya dibedakan pula menjadi manfaat dan biaya yang “tangibel”
(yang dapat diraba) dan yang “intangible” (yang tak dapat diraba). Istilah
dapat diraba diterapkan bagi biaya dan manfaat yang dapat dinilai di pasar,
sedangkan manfaat dan biaya yang tidak dapat dipasarkan adalah tidak dapat
diraba. Keindahan suatu bendungan merupakan contoh dari “intangible benefits”,
sedangkan naiknya produksi pertanian karena tersedianya air yang cukup
sepanjang tahun sebagai akibat pembangunan bendungaan merupaakan “tangible
benefits”. Demikian pula biaya pembangunan bendungan dapat dipakai sebagai
contoh dari “tangible costs” , sedangkan hilangnya kapasitas mencegah
banjir oleh hutan yang diganti dengan
danau buatan merupakan “intangible costs”. Meskipun manfaat dan biaya yang
tidak dapat dipasarkan sulit dihitung, tetapi harus dipertimbangkan dalam
perhitungan manfaat dan biaya suatu proyek.
4. Di samping pembedaan diatas, manfaat dan biaya riil dapat pula dibedakan
menjadi manfaat dan biaya “internal” dan “external”. Suatu proyek di suatu
daerah (kabupaten, misalnya) dapat menghasilkan manfaat dan biaya di dalam
kabupaten itu sendiri (internal benefits
and interna costs) , tetapi dapat pula memberikan manfaat dan
biaya/pengorbanan di kabupaten lain(external
benefits and external costs). Kedua manfaat dan biaya ini harus
diperhitungkan dalam perhitungan manfaat dan biaya suatu proyek. Manfaat dan
biaya eksternal disebut juga manfaat dan biaya lingkungan.
Analisis biaya dan manfaat (ABM) dapat pula digunakan untuk mengevaluasi
proyek-proyek yang dapat mengganggu lingkungan hidup dan untuk kepentingan
umum. Konsep ABM sangat sederhana yaitu mengenali manfaat dan biaya atas suatu
proyek, kemudian mengukurnya dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila
nilai manfaat lebih besar dari pada nilai biaya, maka proyek tersebut akan
menuju ke alokasi faktor produksi yang efisien. Seperti diuraikan diatas tampak
sangat sederhana, tetapi dalam pelaksanaannya akan terdapat banyak kesulitan
yang berhubungan dengan hal berikut:
1. Bagaimana mengenal dan mengukur manfaat?
2. Bagaimana mengenal dan mengukur biaya?
3. Bagaimana menentukan waktu/umur proyek?
4. Bagaimana menentukan tingkat diskonto/discount rate?
B.
Mengenal dan Mengukur Manfaat Suatu Proyek.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini, adalah:
1. Menentukan dampak dari proyek, yaitu barang dan jasa apa yang akan
diperoleh dari proyek tersebut, dan
2. Menyatakan dampak dari proyek tersebut secara fisik kuantitatif.
3. Menyatakan nilai uang IDR, US$ dari dampak fisik.
Biasanya
langkah kedua menjadi sangat sulit, sebab berhubungan dengan bagaimana kita
mengukur manfaat. Untuk itu biasanya digunakan pendekatan sebesar nilai rupiah
yang maksimum orang bersedia membayar maximum
willingness to pay karena memanfaatkan jasa-jasa proyek itu.
Dengan
adanya pembonceng bebas (free rider),
maka kita tidak dapat secara tepat meneliti siapa saja yang akan memanfaatkan
proyek. Kesulitan yang lain adalah untuk membedakan manfaat langsung dan tidak
langsung, sehingga timbul perhitungan ganda dalam menghitung manfaat suatu
proyek.
C.
Mengenal dan Mengukur Biaya Proyek.
Konsekuensi dari adalah adalah adanya beban serta pengorbanan, yang ini
merupakan biaya dari proyek tersebut. Biaya proyek meliputi penggunaan
faktor-faktor produksi yang terlibat dalam pembangunan suatu proyek, termasuk
pula “opportunity cost” yang berupa pengorbanan atau hilangnya jasa produksi
pada sektor lain. Sekalipun dalam menghitung biaya dalam suatu proyek jauh
lebih mudah dibandingkan dalam menghitung
manfaat, namun juga tidak terlepas dari adanya kesulitan, seperti bisa timbul
perhitungan ganda (double counting)
atau juga “over estimate”. Suatu proyek mungkin memiliki dampak terhadap suatu
daerah tertentu, sedangkan proyek lain juga mempunyai dampak terhadap daerah
tersebut. Misalnya sulit memisahkan antara dampak Proyek Bangun Desa Yogyakarta
dan dampak program BIMAS terhadap kenaikan produksi padi di kelurahan Kedung
Poh di Gunung Kidul, sehingga sulit menentukan “opportunity costsnya”. Dalam
menghitung biaya suatu proyek biasanya hanya diperhatikan dalam lokasi dimana
proyek itu berada, sedangkan sesungguhnya biaya ini tersebar ke sluruh
perekonomian. Misalnya jika pembiayaan proyek tersebut diambilkan dari pajak,
maka hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian secara makro, maka kalau
dampak biaya suatu proyek diperhitungkan juga secara makro akan timbul
kesulitan dalam memperkirakannya.
D.
Menentukan Waktu dan Bunga Diskonto.
Manfaat suatu proyek biasanya akan diterima beberapa tahun setelah proyek
itu selesai dan proyek itu akan selalu memberikan manfaat/jasa-jasa yang dapat
diterima pada tahun-tahun yang akan datang. Kesulitannya adalah dalam
menentukan tingkat diskonto atau tingkat bunga (discount rate) dan juga
menentukan umur proyek tersebut. Sering suatu proyek secra ekonomis sudah tidak
berfungsi, tetapi secara teknis masih berfungsi, atau sebaliknya.
Selanjutnya prinsip
efisiensi tidak membedakan antara usaha pemerintah ataupu usaha swasta. Oleh
karena itu tingkat diskonto ditentukan menurut prinsip bahwa tambahan nilai
kapital yang diciptakan oleh instansi pemerintah harus sama dengan tambahan
nilai kapital yang diciptakan oleh swasta, serta konsumsi di masa yang akan datang
yang dikorbankan karena investasi tersebut. Investasi di sektor swasta maupun pemerintah akan menyamakan tingkat
diskonto dengan tingkat bunga pasar, dengan hasil yang diharapkan (marginal effiiency of investment) dan
dengan marginal rate of time preference.
Dalam praktek, tingkat
diskonto yang diterapkan pada investasi publik dapat berbeda dengan tingkat
bunga pasar, dan biasanya justru lebih rendah. Beberapa orang menyatakan bahwa
perbedaan itu tidaklah efisien dan terjadi hanya karena faktor sektor publik
(pemerintah) dapat memperoleh dana (modal) dengan lebih mudah misalnya melalui
pencetakan uang, penjualan obligasi ataupun dengan penarikan pajak.
Sesungguhnya dengan menentukan tingkat diskonto yang lebih rendah pemerintah
mengurangi kesejahteraan masyarakat, karena pemilik dana akan menerima
pendapatan yang rendah dan masyarakat atau generasi saat ini akan menunda
pengambilan sumber daya alam.
Di sisi lai ada yang
berpendapat bahwa tingkat bunga pasar lebih tepat bagi investasi proyek-proyek
yang mempunyai umur yang relatif pendek (misalnya 30 tahun). Oleh karenanya
tingkat bunga pasar itu lebih tinggi dari pada tingkat bunga sosial (publik).
Perbedaan mengenai tingkat diskonto ini mempunyai dampak penting bagi hasil
AMB. Tingkat diskonto yang lebih tinggi, apabila hal-hal lain tetap (ceteris paribus) akan lebih sedikit
usulan yang dapat lulus dari saringan ABM, dan usulan proyek yang menghasilkan
manfaat besar pada awal periode dan biaya besar pada akhir periode akan lebih
dapat diterima untuk dilaksanakan.
Memang untuk investasi
publik yang setaraf dengan investasi swasta adalah kurang dapat dibenarkan bila
perhitungan ABM menggunakan tingkat diskonto yang lebih rendah daripada tingkat
bunga pasar. Mengalihkan dana dari sektor swasta ke sektor publik, demi untuk
mencapai manfaat neto yang ternyata lebih rendah daripada tingkat bunga pasar
merupakan usaha yang tidak efisien. Sesungguhnya pula tidaklah berguna untuk
memihak pada penilaian efisien atas suatu proyek dengan cara manipulasi tingkat
dikonto, untuk membuat proyek yang tidak efisien menjadi efisien. Juga perlu
dimengerti bahwa dengan membuat tingkat bunga sosial sama dengan tingkat bunga
pasar, berdasarkan pengalaman juga tidak dapat memecahkan permasalahan.
Lebih-lebih lagi ternyata tidak hanya ada satu macam tingkat bunga pasar dan
bahkan tingkat bunga itu seringkali juga berubah-ubah. Tingkat bunga
sesungguhnya mencerminkan empat parameter yang berbeda.
1. Tingkat hasil yang diperoleh. (MEI).
2. Biaya transaksi di sektor finansial yang menyebabkan peminjam harus
membayar tingkat bunga yang lebih tinggi daripada penabung.
3. Tingkat inflsi yang diperkirakan.
4. Resiko kreditor, yang mencerminkan kemungkinan adanya debitor yang tidak
membayar pokok pinjaman maupun bunganya berbagai alasan.
Selanjutnya tidaklah mudah untuk memastikan tingginya
tingkat hasil yang diharapkan melalui pengamatan terhadap tingkat bunga.
Investasi publik tidak harus bebas dari
resiko dan sektor publik tidak pula tanpa biaya transaksi.
Pada umumnya tingkat bunga uang (m) disesuaikan dengan
tingkat inflasi yang diperkirakan sebelumnya (p*), sehingga m=r+p*, atau
tingkat bunga uang sama dengan tingkat riil ditambah dengan laju inflasi,
dimana r adalah tingkat bunga riil. Perkiraan laju inflasi biasanya bersifat
tidak sempurna, lebih-lebih pada masa ketidakpastian mengenai inflasi yang akan
datang, m cenderung disesuaikan keatas untuk mencerminkan tingkat inflasi (p*)
yang diharapkan dan unsur ketidakpastian yang ada dan pada gilirannya terhadap
tingkat bunga pasar (m) di masa datang. Oleh karena (m) dan bukan (r) yang
dapat diamati, maka justru kita yang akan menentukan (r) dari hasil pengamatan
terhadap (m). Disamping itu ada tingkat bunga riil yaitu tingkat bunga uang
dikurangi dengan tingkat inflasi, yang sangat berfluktuasi.
Tingkat bunga tidak mungkin sama bagi penabung dan
bagi peminjam, khususnya dalam keadaan dimana biaya transaksi itu positif. Tingkat
bunga uang untuk penabung (ms) harus lebih rendah daripada tingkat
bunga uang untuk peminjam (mb), sebesar jumlah biaya transaksi (t).
Jadi mb=ms +t atau ms=mb-t. Kalau
penabung dikenai pajak atas bunga yang diperolehnya, maka ia sesungguhnya
mendapat imbalan jasa atas uang yang ditabungkan itu sebesar ms
dikurangi pajak, dan peminjam paling tidak harus hasil usaha sebesar mb.
Sehingga disarankan, agar penggunaan tingkat bunga
maupun harga untuk semua barang disesuaikan dengan adanya unsur inflasi. Dengan
kata lain manfaat maupun biaya yang timbul selama umur perencanaan harus
diperhitungkan pada harga yang berlaku dan bila ingin mendapatkan rasio antara
manfaat dan biaya harus dinyatakan dalam harga konstan atau dalam nilai
sekarang (present value).
Meskipun ABM merupakan suatu alat penilaian
(evaluasi), tetapi tidak harus digunakan sebagai alat penyaring untuk
dilaksanakan atau tidaknya suatu proyek pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Namun demikian dalam praktik
ABM justru sering dimanfaatkan sebagai
alat untuk menentukan urutan penting tidaknya suatu proyek itu untuk
dilaksanakan. ABM lebih banyak melihat suatu proyek dari segi efisiensi, dan
para politisi atau pengambil keputusan sering
memutuskan terhadap pelaksanaan proyek tanpa mentaati kriteria efisiensi
tersebut, tetapi lebih pada pertimbangan politis, sosial, dan sebagainya. Di
lain pihak banyak lembaga yang sungguh-sungguh menggunakan ABM sebagai alat
yang ketat bagi perencanaan intern.
Dalam dua puluh tahu terakhir ada perkembangan
perhatian pemerintah, khususnya di Indonesia, terhadap berbagai macam proyek
dan program pemerintah yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan
yang menyangkut berbagai bentuk pengorbanan masyarakat umum dan perorangan demi
tercapainya kesejahteraan atau manfaat bagi masyarakat maupun kesejahteraan
perorangan. Dengan kata lain keputusan yang memperhatikan program pengolahan
sumber daya alam dan lingkungan telah dianggap sebgai keputusan-keputusan
ekonomi. Kesadran pemerintah dan masyarakat ini telah tercermin dengan adanya
keharusan untuk membuat analisis ekonomi tentang biaya dan manfaat suatu proyek
dengan ANDAL. Dalam penerapannya ABM mengambil bagian sebgai alat perencanaan
dan evaluasi yang utama. Memang tidak ada keharusan bahwa manfaat suatu proyek
atau program harus melebihi biaya-biayanya sebagai prasyarat pelaksanaan suatu
proyek. Penemuan ABM dapat juga dipakai untuk mempengaruhi pendapat masyarakat
apabila hasilnya harus disebarluaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar